Jumat, 26 November 2010

THE LAST STATION Tolstoy and Tolstoyan.

THE LAST STATION Tolstoy and Tolstoyan.

Film THE LAST STATION berkisah
tentang masa-masa akhir hidup filsuf Rusia, sekitar tahun 1910-an. Rusia memang
menarik, paling tidak dari sana kita mengenal dua nama yang amat terkenal: Karl Marx (1818 � 1883), pendiri faham
komunisme yang berazaskan atheisme. Dan satu lagi tokoh religius, bernama Leo Tolstoy (1828 � 1910). Count Lev Nikolayevich Tolstoy (Leo Tolstoy) adalah penulis dan seorang
filsuf. Ia bermula sebagai penulis novel romance fiksi yang terkenal misalnya Anna Karenina, dan War and Peace. Karya-karya Tolstoy kemudian berevolusi menjadi karya
tulis filosofi yang amat terkenal. Sebagai seorang filsuf moral religius
Kristen, tulisan-tulisan Tolstoy telah
menginspirasi dua tokoh reformator dunia: Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr. Tulisan Leo Tolstoy menginspirasi kedua tokoh
dunia ini karena gagasan-gagasannya yang cinta damai, yaitu tentang perlawanan
tanpa kekerasan melalui karyanya The Kingdom of God is Within
You.

Keluhuran budinya, keindahan tulisannya, pesan-pesan
moralnya membuat Leo Tolstoy (Christopher Plummer), sering
dianggap sebagai seorang santa (orang suci), bahkan ada yang secara fanatik
menganggapnya sebagai inkarnasi dari Kristus sendiri. Dalam film THE LAST STATION,
yang diangkat dari sebuah novel karya Jay
Parini, sosok Leo Tolstoy
digambarkan sebagai tokoh yang luarbiasa sekaligus seorang biasa yang penuh
konflik di dalam kehidupannya, bahkan konflik yang terpelik yang dihadapi sang
filsuf adalah pada akhir kehidupannya. Agaknya film ini hendak menceritakan
kepada kita bahwa tidak ada ada seorang yang sempurna yang memenuhi suatu
kriteria "icon" kesempurnaan. Seorang filsuf bisa menulis dan mengajar apa itu
kebenaran, bisa menasehati tentang hal-hal yang benar, namun dia bukanlah
kebenaran itu sendiri.

Leo
Tolstoy tinggal di Yasnaya
Polyana. Ia tinggal bersama komunitas Tolstoyan (para pengikut ajaran filsuf Tolstoy) yang memandangnya sebagai "nabi."
Namun demikian seringkali Leo Tolstoy
sendiri mengaku bahwa dia bukanlah seorang Tolstoyan yang baik. Kepala dari gerakan Tolstoyan yang dikisahkan ini adalah Vladimir Chertkov (Paul Giamatti). Chertkov tidak memiliki hubungan baik dengan
Countess Sophia Andreyevna Tolstaya atau
Sofya Tolstaya (Helen Mirren), istri Leo Tolstoy. Sofya dan Leo
Tolstoy saling mencintai, tetapi dalam kehidupan mereka banyak sekali
konflik terutama ketidak-setujuan Sofya
kepada pemahaman/ pemikiran-pemikiran fiosofis Tolstoy yang bersifat religius semakin
menggebu-gebu, radikal, dan tidak lagi memikirkan harta duniawi. Sofya tidak menyukai karya-karya tulisan
terakhir Tolstoy. Di lain pihak, seorang
pengikutnya yang juga seorang Tolstoyan
sejati, Chertkov ini mendukung
sepenuhnya gagasan-gagasan Tolstoy dan
selalu mendorong keinginan Tolstoy untuk
mewariskan segala harta yang dimilikinya dan semua tulisan-tulisannya untuk
rakyat Rusia, bukan kepada keluarganya sendiri. Sofya menentang keputusan pengalihan hak waris
ini, dan memandang bahwa sikap ini adalah suatu ketidak-adilah yang dilakukan
suaminya terhadap dirinya dan keluarganya. Sofya memandang Chertkov adalah sosok yang sangat berpengaruh
dalam keputusan ini, dan menempatkan Chertkov sebagai musuh yang tinggal di dalam
keluarganya.

Chertkov mempunyai
anak didik yang ia rekomendasikan kepada Tolstoy untuk menjadi sekretaris pribadinya,
dia adalah Valentin Bulgakov (James McAvoy).
Kehadiran Valentin cukup disukai baik
oleh Tolstoy maupun Sofya. Sementara Sofya dan Chertkov tiada henti beradu akal untuk
memenangkan perhatian Tolstoy. Dan Valentin lebih memilih untuk menjadi penengah
bagi pihak-pihak yang berseteru, dia tidak menempatkan dirinya untuk ada di
dalam satu pihak tertentu.

Di film ini dikisahkan ada dua orang Tolstoyan sejati, yang pertama adalah Chertkov yang kedua adalah Sasha Tolstoy (Anne-Marie Duff), anak perempuan
Tolstoy. Chertkov dengan dibantu Sasha berusaha untuk senantiasa menampilkan
sosok Tolstoy sebagai panutan utama/
sebagai icon sempurna bagi Tolstoyan. Icon ini harus tetap ditegakkan, mereka bahkan
secara terang-terangan berseteru dengan Sofya yang tidak dapat memahami idealisme
Tolstoyan. Chertkov dan Sasha berusaha menghalangi dan bahkan
memisahkan hubungan antara Tolstoy dan
istrinya itu, dengan harapan agar Sofya
tidak akan mempengaruhi keputusan-keputusan Tolstoy. Chertkov dan Sasha merencanakan sebuah perjalanan untuk
Tolstoy semacam perjalanan meninggalkan
hal-hal yang duniawi (termasuk Sofya)
untuk mendapatkan ketenangan hakiki di akhir hidup sang filsuf. Mereka berbuat
demikian untuk makin mengikrarkan nama Leo
Tolstoy sebagai icon sempurna
dari kaum Tolstoyan. Namun demikian,
film ini tidak menampilkan sebuah perbedaan hitam dan putih, dan tidak
menghakimi pihak manakah yang lebih benar, apakah sikap emosional manusiawi
Sofya yang lebih benar ataukah idealisme
luhur Tolstoyan yang dianut Sasha yang lebih benar. Tolstoy sendiri tidak digambarkan begitu teguh
dalam pendiriannya, pada akhir masa kehidupannya ini, dia lebih sering
ditempatkan pada keadaan-keadaan yang ambigu dimana dia sendiri tidak yakin
dalam keputusan yang diambilnya karena hal itu seringkali membuahkan pertikaian
di dalam rumah-tangganya.

Film ini juga diceritakan konflik-konflik yang
lain, misalnya suatu paradoks dimana Tolstoy sendiri adalah orang yang sudah
terikat dengan pesan-pesan moral yang ditulisnya, namun ternyata dia pun masih
mengingat ''kenakalannya' di kala ia masih muda dulu tentang pengalamannya
bermain cinta. Terhadap hal tersebut, Valentin bertanya kepada Tolstoy apakah dia merasa bersalah? Tolstoy tidak menjawab, dia hanya tertawa
mendengarnya, dan kemudian Tolstoy
bertanya balik, kenapa harus merasa bersalah? Diceritakan pula Tolstoy tidak suka mendengar rekaman
ceramah/pidato-nya sendiri, malahan dia lebih memilih mendengar Mozart dan
berdansa dengan istrinya. Valentin dalam
kehidupannya yang baru bersama Tolstoyan
di Yasnaya Polyana, pun tak mampu
menjadi Tolstoyan sejati. Dia bertemu
dengan Masha (Kerry Condon), dan ia jatuh
cinta, dan melakukan hubungan sex di luar pernikahan yang jelas melanggar
paham-paham yang dipercayai oleh Tolstoyan. Ada contoh tindakan yang radikal
dari Tolstoyan misalnya, saking cintanya
akan kedamaian mereka tidak mau menyakiti makhluk hidup termasuk membunuh seekor
nyamuk. Namun ada suatu ketika Tolstoy
sendiri dengan terang-terangan menepuk nyamuk yang hinggap di pipi Valentin. Dan, Tolstoy melakukan ini di depan Chertkov yang memandang tindakannya gurunya
yang telah membunuh makhluk hidup tersebut sangat tidak "Tolstoyan". Inilah "paradoks," sementara Tolstoy sendiri sering mengaku bahwa dia
sendiri bukan seorang Tolstoyan yang
baik, namun di lain pihak kita ditunjukkan sosok Chertkov yang justru menampakkan bahwa dia
adalah seorang Tolstoyan yang
ortodok.

Film ini bukannya mengkritisi sifat dan moral Tolstoy, namun menampilkan sisi manusiawi dari
seorang yang punya nama besar. Bahwa betapapun hebatnya pemikiran seseorang,
betapapun mulianya karya seseorang tentang filosofi moral/ ajaran, dia pun tetap
manusia biasa yang juga mengalami berbagai ujian-ujian hidup. Ada satu yang
penting kita ketahui mengenai ajaran kebenaran moral. Bahwa moral seseorang
sebenarnya tidak mempengaruhi ajaran orang itu. Akan tetapi kalau seorang ingin
mengajarkan kebenaran moral, bagaimana watak orang itu akan amat penting.
Seorang yang suka berzinah bisa saja mengajarkan hal pentingnya kesucian.
Seorang yang suka mencuri barang orang lain, bisa saja mengajarkan soal nilai
kedermawanan. Seorang yang bernafsu untuk menguasai bisa saja mengajarkan
tentang keindahan kerendahan hati. Seorang pemarah bisa saja mengajarkan tentang
keindahan penguasaan diri. Seorang yang mendendam bisa saja mengajarkan tentang
keindahan kasih.

Tolstoy adalah
contoh dari seorang filsuf yang diuji dengan standard moral yang diajarkannya
sendiri. Seorang filsuf dapat mengajar dan menjabarkan apa itu kebenaran, namun
dia bukanlah kebenaran itu sendiri. Kebenaran-kebenaran moral tidak bisa
disampaikan hanya dengan kata-kata, tapi harus dengan contoh. Justru itulah yang
tidak dapat dilakukan oleh guru manusia sebagaimana seorang Tolstoy. Maka, tidak ada filsuf di dunia ini
yang walaupun dapat mengajarkan apa itu kebenaran berani mengatakan bahwa dialah
kebenaran itu. Tidak ada guru pernah menghayati dan mendarah-dagingi kebenaran
sepenuhnya apa yang ia ajarkan. Banyak orang dapat mengatakan, "Aku telah
mengajarkan kebenaran kepadamu," tetapi tidak ada yang dapat berkata, "Akulah Kebenaran."
Kata 'kebenaran' di
Alkitab berasal dari kata Yunani αληθεια
- alêtheia, di dalam bahasa Yunani terdapat kata lain yang juga bermakna
kebenaran, yaitu δικαιοσυνη
- dikaiosunê. Namun alêtheia
lebih mempunyai makna yang khusus dan secara substansinya lebih dalam. Kata alêtheia
adalah kebenaran secara budi. Alêtheia
juga merupakan istilah dalam bahasa hukum yang bermakna 'duduk perkara yang
nyata' yang masih harus dibuktikan dengan kenyataan dan pernyataan-pernyataan
yang dipakai oleh para pihak dalam sebuah pengadilan. Dalam ilmu tentang
sejarah, kata alêtheia
bermakna 'duduk perkara yang nyata yang dikontraskan dengan dongeng.' Dalam ilmu
filsafat alêtheia
bermakna, hal yang sungguh-sungguh nyata, dalam arti yang mutlak. Dan, Yesus
Kristus, satu-satunya pengajar kebenaran yang berani berkata bahwa "Akulah Kebenaran, .... Akulah Alêtheia"
(Yohanes 14:6), itu karena Yesus Kristus satu-satunya pribadi yang memiliki
kesempurnaan moral dan yang mendapatkan realisasinya dalam Dia.

THE LAST STATION
adalah sebuah kisah manusiawi, dan dari kisah ini kita dapat memetik sebuah
pemahaman/ pengertian. Bahwa ada banyak figur-figur di dunia ini yang oleh
pengajaran dan karismanya mempengaruhi seseorang, bahkan membuahkan suatu
kegerakan besar sebagaimana pernah dilakukan Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr..
Pemikiran-pemikiran Leo Tolstoy begitu
mulia, pengajarannya begitu luhur, namun pemikiran-pemikiran sang guru Leo Tolstoy tersebut seharusnya tidak
dipandang secara fanatik, sebagaimana dilakukan oleh Chertkov dan Sasha dan para Tolstolyan . Karena bagaimanapun sang guru
Leo Tolstoy secara pribadi, diapun diuji
oleh pengajarannya sendiri, dan diapun digoda dan tergoda untuk melanggar
pengajaran-pengajarannya sendiri.

Christopher Plummer dan Helen Mirren
menampilkan akting yang superb sebagai
suami istri yang sungguh saling mencintai dan sekaligus saling berseteru.
Demikian juga Paul
Giamatti dan James McAvoy, mereka adalah
pilihan yang tepat memerankan perannya masing-masing.
Bravo!


http://portal.sarapanpagi.org/entertainment/the-last-station-tolstoy-and-tolstoyan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar