Kamis, 29 Juli 2010

Kematian sebagai sebuah pertemuan

Kematian sebagai sebuah pertemuan

Kejadian 49:29-50:14

Bagaimana kita memandang kematian? Apakah sebagai akhir atau sesuatu yang
melanjutkan hidup yang sudah kita lalui meski dalam cara yang berbeda?
Bagaimana kita menyikapi kematian? Ini bukan pertanyaan yang akan diterima
dengan nyaman oleh kebanyakan orang. Mengapa? Sebab ada sesuatu yang misterius
tentang apa yang terjadi dalam kematian dan akibatnya sesudah itu yang kita
tidak tahu, di luar kendali kita, dan bersifat final. Itu sebabnya kita gelisah
bahkan takut. Namun ada orang yang dapat menatap bahkan mempersiapkan kematian
serta penguburannya dengan penuh keyakinan. Yakub termasuk orang yang demikian.

Ketika ia mengumpulkan anak-anaknya dan memberikan nubuat berkat, intinya
ia menyiapkan perpisahan dirinya dari mereka. Berulang kali ia meminta dan
memastikan berbagai hal sehubungan dengan penguburannya. Dan seperti cara kematian
Abraham, ia pun meninggal dengan cara yang sangat indah. Ia menarik kakinya,
berbaring, lalu pergi.

Oleh karena Yusuf adalah pembesar Mesir, kematian Yakub, ayahnya, mendapat
penghormatan dan tata cara penguburan menurut kebudayaan Mesir. Ada persamaan
dan perbedaan penting antara perlakuan Mesir dan perlakuan keluarga Israel
tentang orang mati. Keduanya sama-sama meyakini adanya hidup kelanjutan dari
orang yang sudah mati, seperti yang ditandai oleh pengawetan mayat pada orang
Mesir. Pada keluarga bapak leluhur tidak diadakan pengawetan mayat, tetapi
ungkapan "dikumpulkan bersama Abraham, Sara, Ishak, Ribka, Lea..."
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berlanjut di antara mereka.

Demikianlah kita seharusnya memandang kematian, yaitu sebagai permulaan
dari kekekalan yang indah dan bukan sekadar akhir dari kehidupan yang fana.
Keindahan kekekalan itu dapat kita nikmati bila kita berada dalam hubungan yang
benar dengan Allah, oleh iman kepada Anak-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Kematian
akan mempertemukan kita dengan Allah dan orang-orang beriman yang sudah
mendahului kita.

|||||| sumber: http://www.sabda.org/publikasi/e-sh/
||||||

Bukan Hanya Menghibur

2 Tawarikh 6:12-17
Mazmur 46-48;
Kisah Para Rasul 28

Setelah menyimak oratorium Messiah, seseorang
mendatangi George Frideric Handel, komposer musik panjang tersebut. Ia memuji
dan menyatakan betapa para penonton sangat terhibur oleh karya itu. Oratorium memang mirip
dengan musik opera, hanya saja tanpa drama dan pembabakan, dan mengandung unsur
hiburan yang kuat. Namun, dalam karya yang memotret sosok Kristus ini, Handel
memiliki tujuan yang berbeda. Hiburan hanyalah tujuan samping. Maka, ia
menanggapi orang itu dengan berkata, "Saya sungguh prihatin kalau ternyata
hanya berhasil menghibur mereka—saya berharap membuat mereka menjadi lebih baik."
Lebih dari sekadar menggubah mahakarya, ia ingin memperkenalkan dan
memasyhurkan Mesiasnya.

Salomo membangun Bait Allah yang megah. Perlu tujuh
tahun untuk mendirikannya, dengan materi dari kayu berkualitas terbaik yang
dilapisi emas. Sebuah karya arsitektur yang tiada bandingannya. Ketika
meresmikannya, bisa saja ia membusungkan dada atas pencapaian agung tersebut.
Namun, ia memilih untuk berlutut menyembah Allah, menunjukkan kasih dan
penghormatannya yang mendalam. Ia mengakui bahwa Allah-lah Raja yang
sesungguhnya, pemegang wewenang dan kekuasaan tertinggi. Dengan teladannya, ia
menggugah segenap bangsanya untuk turut menyembah Allah.

Begitu juga tujuan kita berkarya. Bukan sekadar
untuk mengundang decak kagum dunia, membusungkan dada, mengejar hobi, atau
memuaskan kesenangan pribadi, melainkan untuk memuliakan Allah. Sebuah karya
yang tampaknya sepele sekalipun akan menjadi besar jika dapat menggugah orang
untuk memuliakan Dia.

KARYA DAN TINDAKAN KITA
MENJADI BERARTI

KETIKA DIPERSEMBAHKAN
BAGI KEMULIAAN YANG MAHATINGGI

Penulis: Arie Saptaji

|||||| sumber: http://www.renunganharian.net/ ||||||

Tidak ada komentar:

Posting Komentar