Senin, 26 Juli 2010

Kebaikan Yang Relatif

Kejadian 4 : 1–7

4:1. Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah
perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: "Aku telah
mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN."
4:2 Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala
kambing domba, Kain menjadi petani.
4:3. Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari
hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan;
4:4 Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing
dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban
persembahannya itu,
4:5 tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Laluhati Kain
menjadi sangat panas, dan mukanya muram.
4:6. Firman TUHAN kepada Kain: "Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?
4:7 Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika
engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat
menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya."


Banyak teolog menyatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat kebaikan sama
sekali setelah jatuh dalam dosa. Benarkah ini? Sebenarnya tidak tepat
demikian. Setelah jatuh ke dalam dosa, manusia memang tidak mampu melakukan
perbuatan baik yang ideal atau mutlak, tetapi manusia masih bisa melakukan apa
yang baik dalam ukuran yang relatif dan subjektif. Itu sudah cukup bisa
membuat mereka "melakukan kehendak TUHAN yang terbatas".

TUHAN berkata kepada Kain, "…Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa
sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus
berkuasa atasnya." (ay. 7) Perhatikan perkataan "engkau harus berkuasa
atasnya". Kata "berkuasa" dalam teks aslinya adalah מָשַׁל (mâshal) yang
artinya "mempunyai kuasa atas", "memerintah". Jadi manusia masih bisa berkuasa
atas dosa, atau masih bisa melakukan hal-hal yang baik dalam ukuran yang
relatif dan subjektif.


Sebagai contoh, Henokh adalah seorang anak manusia yang tentu telah mewarisi
kodrat dosa dari Adam, tetapi di hadapan TUHAN ia masih dianggap memenuhi
kriteria untuk menjadi sahabat TUHAN, sehingga ia diangkat oleh TUHAN (Kej.
5:24). Demikian juga dengan Elia (2Raj. 2:11) dan kemungkinan besar juga Musa,
karena dikatakan kuburnya tidak diketahui (Ul. 34:6) dan ia turun bersama Elia
ketika Yesus dipermuliakan di atas gunung (Mat. 17:3). Dengan kenyataan ini
kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia mengalami kerusakan total, tetapi
memang manusia tidak mampu melakukan kebaikan menurut standar TUHAN yang
sempurna dan ideal.

Maka hendaknya kita tidak menghakimi bangsa-bangsa yang tidak mengenal TUHAN
dan tidak tahu kehendak TUHAN yang ideal itu dengan mengenakan ukuran kehendak
TUHAN yang ideal, kemudian memberi kesan seolah-olah mereka begitu rusaknya
sehingga tidak layak disebut manusia lagi karena mereka memang tidak mengenal
dan tidak mengetahui kehendak-NYA yang ideal. Dari zaman Adam sampai zaman
Musa, sebenarnya manusia tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena tidak ada
peraturan atau hukum. Musalah orang pertama yang diberi wahyu TUHAN untuk
menulis Taurat-NYA. Hukum- hukum Tuhan adalah pencerminan dari keberadaan
ALLAH yang Maha Kudus, tetapi hukum-hukum itu belumlah mewakili seluruh
kehendak TUHAN yang sempurna melainkan hanya tutor sampai Yesus datang dan
membawa kebaikan yang mutlak. Oleh sebab itu kualitas kebaikan yang dilakukan
bangsa Israel masa Perjanjian Lama masih pada batas kebaikan umum, yang bisa
saja juga dimiliki oleh suku bangsa lain di dunia. Kepada umat Perjanjian Lama
tidak bisa dituntut untuk sempurna seperti tuntutan kepada umat Perjanjian
Baru, yaitu harus baik, berkenan dan sempurna.


Dimodifikasi dari Truth Daily Enlighenment, dengan ijin penerbit.
http://virtuenotes.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar