Selasa, 05 Oktober 2010

Secukupnya saja

SECUKUPNYA SAJA

Mahatma Gandhi pernah berkata: "Dunia ini senantiasa dapat mencukupi kebutuhan setiap orang, tetapi tak akan bisa mencukupi keserakahan setiap orang." Inilah peringatan Gandhi kepada rakyatnya supaya mereka mencukupkan diri sesuai kemampuan mereka dan tidak serakah.
Demikian pula yang terjadi dengan umat Israel dalam bacaan hari ini. Setelah satu setengah bulan dalam pengembaraan, tentu bekal makanan yang mereka bawa telah habis. Mereka kelaparan. Dalam situasi itu mereka bersungut-sungut kepada Musa (16:3). Sebagai jawaban atas keinginan mereka, Tuhan mengirim roti dari langit (ayat 4), dan juga burung puyuh (ayat 13). Namun, Tuhan bukanlah Allah yang memanjakan umat. Ketika roti manna diturunkan, Tuhan tetap menjadi Allah yang mendidik umat bagaimana mesti hidup di hadapan-Nya, yakni dengan berpesan: agar tiap-tiap orang memungut menurut keperluannya, agar tidak ada pihak yang kelebihan atau kekurangan. Hidup sesuai dengan keperluan, disebut sebagai hidup yang ugahari (hidup dengan rasa cukup). Pas, itu saja! Ini pun adalah pelajaran rohani. Tujuannya adalah agar tercipta keseim¬bangan yang adil bagi semua orang, suatu hal yang sering dirusak oleh nafsu serakah yang menguasai orang yang selalu merasa kurang.
Demikianlah pula ajaran Allah bagi umat Israel, pun bagi kita hari ini. Yakni dengan hidup diiringi dengan perasaan cukup; membebaskan diri dari sikap serakah. Serta, tetap menaruh kepercayaan pada Tuhan yang mengerti segala kebutuhan dan memelihara hidup kita.


HIDUP DENGAN RASA CUKUP MENOLONG KITA UNTUK SELALU PEDULI JUGA BERSYUKUR

Penulis: Daniel K. Listijabudi

Nice Story :

KEPUASAN ADA DI RASA SYUKUR


Siang itu tadi temanku tiba-tiba nelpon. Makan siang yuk, ajaknya. Oke, jawabku. So she picked me up at the lobby of Jakarta Stock Exchange Building. Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto Pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah
sampai sebrang-sebrang.

Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di Kertanegara.
Bisa makan di mobil soalnya sampai di sana masih sepi.
Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada jumatan. Begitu parkir, seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa. Kami pesan dua porsi gado-gado + teh botol. Sambil menunggu pesanan, kami pun ngobrol.

So, ketika tiba2 ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget.

"Semir om?" tanyanya. Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku
nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk... Tanpa sadar tangan ku membuka sepatu dan memberikannya pada dia. Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman. Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol.

Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatu ku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu. Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet, ya jadi pak ogah.


Pandangan matanya kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang2 matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir (sudah mulai ramai).

Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Tentang kira2 umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir.

Dia menyerahkan sepatunya pada ku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.

Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil.
Menawarkan jasa.

Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi.

Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kami juga merasakan penolakan
itu.

Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan.
Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? Hihihi...
Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa
melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan, mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan,di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga.

Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya.

Tertunduk lesu...Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar.

Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir.

Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahu ku jasa nyemir biasanya 2 ribu rupiah.

Dia berkata kalem "Kebanyakan om. Seribu aja".

BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku.

It-just-does- not-compute- with-my-logic!

Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan
hak-nya.

Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rupiah yang dia kembalikan.

Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup
dibayar segitu.

Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku
masih sedemikian kerdil.

Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gaji ku.

Padahal keadaanku sudah sangat jauh lebih baik dari dia.

Tuhan sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilaku-ku belum seberapa
dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, ke aku, yang sudah berkelebihan.

Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga. Siang ini aku seperti diingatkan. Bahwa kejujuran itu langka. Bahwa kepuasan itu adanya di rasa syukur.

salam kasih, hangat, & persahabatan untuk semua,
(penulis tidak di ketahui)
--------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar